Jumat, 12 Desember 2008

Subjektivitas dan objektivitas : Nilai-nilai Dalam Pengkajian Sejarah

Latar Belakang
Panasnya kuping saya yang selalu mendengar orang memarjinalkan sejarah. Lebih parah lagi orang yang mengatakan hal itu adalah seorang guru (menangani bagian kurikulum di sekolah), yang semestinya semasa kuliah dahulu pernah belajar "FILSAFAT ILMU". Dan mestinya, kalau dia pernah belajar filsafat ilmu, dia pasti sudah mengetahui dimana kedudukan sejarah sebenarnya. Kalau sudah mengetahui, saya yakin tidak akan keluar kata-kata :" Untuk apa belajar sejarah? Anak lulusan SD saja saya yakin bisa koq ngajar sejarah, gak perlu capek-capek kuliah lama-lama. Toh keobjektifannya pun masih diragukan!".
Alasan lan yang melatarbelakangi saya menulis ini, bukan untuk mengajukan pembelaan, namun menempatkan sesuatu secara PROPORSIONAL. Tidak seenaknya memberi pendapat, tanpa memahami apa konteks yang ia komentari. Akhirnya, saya harap tidak ada lagi GURU yang tidak bisa digugu dan ditiru ucapannya, karena itu MEMALUKAN!!!.
Saya ingat, waktu kuliah dulu di UNJ Jurusan Pendidikan Sejarah, pernah membuat makalah yang akan saya paparkan di bawah ini, mudah-mudahan dengan adanya tulisan ini saya pribadi jadi bisa memberikan sedikit "pencerahan" kepada teman-teman seperjuangan dan memberikan jawaban kepada pembaca yang masih merendahkan SEJARAH.

Pendahuluan
Pada masa sekarang, sejarah mulai mendapatkan tempatnya dengan memperoleh bentuk metodisnya. Tetapi, pada saat yang bersamaan keilmiahan sejarah mulai dipertanyakan dan diragukan, hal ini jika dilihat dari bobot ilmu dan tingkat objektivitasnya sebagaimana yang dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan alam yang telah dianggap sebagai model ideal bagi objektivitas yang imiah. Hal ini membuat ilmu sejarah selalu berada dalam posisi yang TIDAK BEGITU TERHORMAT diantara ilmu-ilmu yang lainnya.
Masalah "Subjektivitas dan Objektivitas" dalam sejarah merupakan masalah yang strategis, karena masalah tersebut menyentuh inti legitimasi sejarah sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan. Selanjutnya, sejauhmanakah subjektivitas dan objektivitas tersebut mempengaruhi penulisan sejarah? Bagaimanakah persoalan subjketivitas dan objektivitas dapat diatasi?. Penyelesaian masalah ini akan menentukan apakah sejarah dapat dikatakan suatu disiplin ilmu ilmiah!!!!!!!!!!!

Subjektivitas dan Objektivitas
Sebuah pelukisan sejarah kita sebut subjektif, bila subyek yang tahu - yakni - sejarawan sendiri jelas hadir didalamnya. Sedangkan pelukisan sejarah kita sebut objektif, bila hanya obyek penulisan sejarah dapat diamati (Baca: Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah : Pendapat-Pendapat Modern Tentang Sejarah, 1987).
Berangkat dari apa yang dikatakan oleh Soedjatmoko dalam buku yang ditulis oleh Poesporodjo, bahwa :" Sesungguhnya, setiap pembicaraan tentang problema-problema interpretasi sejarah dan sintesis bahan-bahan sejarah menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi Indonesia modern, menjurus kepada persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan objektivitas". Artinya, sejarah yang tergolong ilmu humaniora hendak menyamai ilmu pengetahuan alam yang dinilai ilmiah seperti ilmu eksak. Keobjektifannya dianggap merupakan bukti suatu kebenaran, ilmu pengetahuan alam dapat dibuktikan langsung secara ilmiah dan mampu menjawab persoalan langsung saat itu juga, sedangkan sejarah terutama dalam penulisannya memiliki kelemahan yang dianggap tidak objektif karena memiliki kebenaran yang relatif.
Selama ini untuk menjamin keilmiahan suatu ilmu hanya objek, objektif dan objektivitas yang dikejar. Pendekatan objektif dalam ilmu pengetahuan alam terkesan digeneralisasikan dengan pendekatan objektif dalam ilmu sejarah. Dalam pandangan sejarah, subjek mempunyai peranan yang penting. Ternyata subjektivitas, bukan dalam arti subjektivisme, justru merupakan dasar bagi lahirnya objektivitas. Jika dilihat, maka berbicara tentang objektivitas dan subjektivitas sama dengan membicarakan sejauh mana sejarawan tepengaruh oleh nilai-nilai pada zamannya.

a. Subjektivitas
Seperti telah disinggung di atas bahwa subjektivitas adalah suatu sikap yang memihak dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan, dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam sejarah unsur ini banyak terdapat dalam proses interpretasi.
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi/subyek. Selain yang diinterpretasikan adalah peristiwa masa lalu yang sudah ditinggalkan. Sekalipun masih ada itu hanya ada dalam pikiran sejarawan/subyek tersebut. Sejarawan tersebut yang hidup di masa kini, tentu saja dalam melakukan interpretasi dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Selain itu terdapat faktor lain yaitu menurut pendapat G.G.J Resink yang turut mempengaruhi subyektivitas yaitu lingkungan kultural Indonesia yang majemuk dan terbuka untuk banyak tafsiran, sinkretisme religius dan kultural, kecenderungan untuk mencari ketenangan dengan sikap jujur.
Untuk itulah, hingga melahirkan subjektivisme, dimana objek tidak lagi dipandang/dinilai sebagaimana seharusnya; tetapi dipandang sebagai "kreasi", "konstruksi" akal budi.
Mengapa subjektif, karena menurut Nugroho bahwa sejawaran tidak menangkap objek, yakni hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau dengan menangkap ideanya. Sedangkan idea itu sesuatu yang subjektif. Walaupun demikianbahwa pengetahuan subjektif tidak selalu mutunya lebih rendah dari pengetahuan lainnya.
Artinya, dari penjelasan ini bahwa unsur subjektif diperbolehkan/dihalalkan selama tidak mengandung subjektivistik yang diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya tidak lagi real sebagai objektif.

b. Objektivitas
Objektivisme yaitu sikap yang tidak dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan didalam mengambil keputusan. Objektivitas sebagai realitas adalah ketidaktersembunyiannya realitas tersebut bagi subjektivistas.
Seperti yang kita tahu, keberhasilan ilmu pengetahuan alam membuat banyak orang memandangnya sebagai model ideal ilmu. Dalam ilmu pengetahuan alam yang mendasarkan diri pada pengalaman yang didapat lewat indera maka yang terjadi adalah pendekatan pada suatu objek yang dilakukan ilmu pengetahuan alam terjadi lewat cara objek tersebut memberikan dirinya secara lahiriah kepada pancaindera. Dengan demikian, fakta yang konkret dapat dihasilkan dan diujicobakan kebenarannya sesuai dengan hukum-hukum yang dimilikinya. Berbeda dengan sejarah yang objeknya manusia, maka ketika objektivitas dalam ilmu pengetahuan alam tidak dapat diterapkan dalam ilmu sejarah karena subjek penyelidik sejarawan mulai terlibat, disitulah objektivitas sejarah mulai diragukan.
Dalam sejarah, bagaimanapun subjektivitas merupakan unsur penting bagi terwujudnya ilmu pengetahuan sejarah itu sendiri karena tiada pengetahuan yang tidak berhubungan dengan subjek. Walaupun begitu, sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, ilmu tanpa objektivitas tidak mempunyai nilai ilmiah dan akan berhenti sebagai ilmu. Sejarawan berusaha seobjektif mungkin, akan tetapi bagaimanapun objektivitas itu dihasilkan akan tenggelam dalam subjektivitas, sebab untuk dijadikan sejarah, objek harus ditafsirkan oleh subjek.
Untuk mendapatkan keobjektivannya, seorang sejarawan harus memiliki filsafat yang sehat, memiliki kejujuran intelektual, dan objektivitas akan semakin didapat dengan semakin kayanya bagasi intelektual, perlengkapan kejiawaan subjektivitas sejarawan. Objektivitas ini dapat dihasilkan dengan menggunakan metode subjektivo-objektif, dengan begitu ilmu disadarkan atau kemungkinannya dan akar konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih luas.
Menurut sejarawan dan filsuf sejarah yang berhaluan Marxi, penulisan sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak perlu dicita-citakan. Hasrat akan tercapainya suatu masyarakat yang lebih baik dan adil harus merupakan nilai dan pedoman menuntun sejarawan dalam penelitiannya.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yang penting, sbb:
Pandangan subjektivisme yang hadir dalam disiplin ilmu sejarah terutama proses penulisannya bukanlah sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi diusahakan seminimal mungkin dan diatasi dalam setiap tahap kegiatan sejarawan.
Demikian juga objktivitas, bukan merpakan sesuatu yag tidak tercapai, hanya mendapatkannya berbeda dengan yang didapatkan oleh ilmu pengetahuan alam.
Subjek, sejauh selalu terikat oleh objek, aka kesewenangan subjek dapat dijauhkan, maka dapat pula dapat dijauhkan pula dari hal yang subjektivistik. Dan objek tidak terlalu mendominasi untuk dipentingkan dengan meniadakan subjek, maka akan membawa subjek pada hal yang real, dan objektivitas dapat pula dijauhkan.